Setelah sebelumnya ragu-ragu dalam menuangkan aturan kendaraan berjenis Low Cost Green Car (LCGC) pada Peraturan Menteri (Permen), kini kendaraan berkubikasi 1000 cc itu telah dilegalkan oleh pemerintah untuk digunakan sebagai alat transportasi online.
Fitur keselamatan pada LCGC, disebut-sebut menjadi salah satu faktor alotnya pemerintah dalam memasukan LCGC ke dalam Permen tersebut. Yang mana, tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak Dalam Trayek.
Ketua Tim Desain Produk Otomotif Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu berpendapat ada kekeliruan jika pemerintah beralasan faktor keamanan yang belum sesuai saat pertama kali melarang LCGC sebagai kendaraan untuk taksi online.
"Kalau peraturan dulu panik, kalau itu tidak bisa karena LCGC tidak aman untuk penumpang umum. Jadi kalo non umum, boleh dong karena tidak aman," kata Yannes kepada, Selasa (21/2).
Yannes menerangkan, tentu akan berbahaya jika pemerintah, melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tidak cepat-cepat merevisi Permen itu. Misalnya, bentrok antar departemen terkait yang mengesahkan LCGC di tanah air.
"Ribut antar departemen dong. Seolah-olah (kementerian) perindustrian tidak becus perihal regulasi dan faktor keamanan, belum perusahaan-perusahaan Jepang lainnya merasa dilecehkan, lalu keilmuan, seperti tidak menghitung, murah jadi tidak usah selamat," ungkapnya.
Padahal, menurutnya, dalam sebuah investasi kendaraan di industri otomotif, tentunya Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sudah menganggap para produsen telah lolos syarat keselamatan untuk produk kendaraannya.
"Karena persyaratan utama bagi investasi itu safety kendaraan. Tidak boleh turun ke jalan kalau tidak disahin, tidak bisa," kata Yannes.
Merusak Iklim Investasi
Yannes melanjutkan, selain kisruh antar departemen, tentunya jika kebijakan melarang LCGC dipatenkan, juga akan berefek menurunnya performa bisnis otomotif yang bernilai ratusan triliun. Hal itu berdasarkan, sedikitnya ada lima produsen otomotif yang bermain pada pasar LCGC di Indonesia.
"Investasi sudah berapa triliiun. Penjualan bisa rusak, mungkin kalau industri otomotif digabung bisa mencapai lebih dari Rp 100 triliun. Karena pernyataan seorang pejabat," kata dia.
Terlebih sejauh ini Yannes mengatakan belum ada kajian resmi yang dikeluarkan pemerintah menyoal pelarangan sebelumnya.
"Dulu tidak dimasukin karena belum ada masukan oleh para pengemudi untuk usaha online, dengan menggunakan LCGC," kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Pudji Hartanto.
Saat ini Kemenhub dipastikan sudah merestui penggunaan LCGC sebagai kendaraan operasional untuk taksi online. Pudji membantah jika pemerintah dianggap menjadikan fitur keselamatan LCGC yang dianggap tidak sesuai untuk dijadikan kendaraan taksi online.
Ia berujar, faktor keselamatan pada LCGC tidak perlu diragukan. Menurutnya Kemenperin dan Kemenhub sudah terlebih dulu melakukan beberapa tes kepada LCGC. "Safety tidak ada masalah," ujarnya.
Sekedar informasi, ada beberapa alasan utama di balik pemberlakuan aturan sebelumnya, diantaranya teknologi pengereman LCGC belum menggunakan sistem antilock braking system (ABS), kubikasi kendaraan yang terlalu rendah (1000 cc) dan tidak sesuai jika bermuatan empat penumpang dengan full ac, terlalu ringannya bobot LCGC hingga belum memiliki dual airbags.
Secara umum dapat disimpulkan, ada standarisasi yang diinginkan oleh pemerintah terhadap angkutan umum, sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM). Tidak hanya aman dan nyaman, melainkan juga kepada faktor keselamatan.
Namun, sikap tersebut belum juga menyeluruh jika menginginkan hal demikian. Mengingat angkutan umum yang saat ini beroperasi di Jakarta seperti Metromini, Kopaja dan Angkutan Kota (angkot), begitu juga kota-kota lainnya justru kerap tidak memenuhi persyaratan tersebut.
Transportasi umum saat ini terutama angkutan kota tentu tidak memiliki fitur-fitur keselamatan terkini serupa pada LCGC. Terlebih, banyak kendaraan umum yang masih beroperasi menggunakan produk atau keluaran lamadengan fitur keamanan yang belum secanggih yang diinginkan pemerintah.